Kamis, 26 Desember 2019

Ketika Negara Mengurusi Iman Warganya

Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
 
Jakarta - Menko Polhukam yang baru, Mahfud MD mengatakan bahwa kantor-kantor pemerintah boleh mendirikan rumah ibadah selain gereja. Masjid kini sudah banyak berdiri di kantor-kantor pemerintah. Hampir setiap kantor punya masjid. Itu pun belum cukup. Meski sudah ada masjid, di hampir setiap gedung, bahkan setiap lantai gedung, ada musala, atau ruang yang difungsikan sebagai musala, sehingga orang-orang yang sedang repot dan tidak sempat ke masjid dapat salat dengan mudah di musala tadi. 
 
Lalu bagaimana dengan umat lain? Itulah yang disarankan Mahfud tadi. Biar adil, kantor pemerintah juga boleh membangun rumah ibadah lain. Ada beberapa persoalan terkait dengan pernyataan itu. Bagaimana dengan di luar kantor pemerintahan? Ada banyak kasus penolakan pembangunan gereja di berbagai tempat. Apakah pernyataan Mahfud itu bermakna bahwa berbagai penolakan itu tidak akan terjadi lagi?
 
Tidak semudah itu. Kecuali Mahfud mau mengusahakan dicabutnya Peraturan Menteri yang mengatur soal pembangunan rumah ibadah. Peraturan ini bermasalah karena memberi kesempatan kepada pemeluk agama mayoritas untuk mencampuri urusan pembangunan rumah ibadah umat lain, melalui persyaratan dukungan 60 orang warga dari agama mayoritas terhadap pendirian rumah ibadah umat lain. Ini yang menjadi sumber masalah. Belum lagi sikap kepala daerah yang tidak adil sehingga tidak kunjung mengeluarkan izin mendirikan rumah ibadah.
 
Masalah berikutnya adalah soal aliran kepercayaan. Apakah mereka juga akan diberikan hak untuk membangun rumah ibadah? Jawaban normatifnya, iya. Tapi apakah itu yang akan mereka terima di lapangan? Para penganut kepercayaan berjuang sangat lama untuk sekadar dapat mencantumkan kepercayaan mereka di KTP. Ringkasnya, keberadaan mereka tadinya tidak diakui oleh negara. Ironis, karena negara mengakui 6 agama, yang sesungguhnya berasal dari luar, sedangkan aliran-aliran kepercayaan ini umumnya asli Indonesia. Kepercayaan asli Indonesia justru tidak diakui di rumahnya sendiri.
 
Konsep "diakui" itu sendiri adalah konsep yang aneh dalam konteks gagasan hak asasi manusia. Negara sebenarnya hanya perlu melindungi hak setiap warga negara untuk percaya dan meyakini sesuatu. Negara tidak berhak menentukan apa jenis kepercayaan itu. Menetapkan agama yang diakui seakan menyatakan bahwa ada agama yang tidak diakui, dan tentu saja tidak berhak mendapat perlindungan/pelayanan dari negara. Faktanya, negara bahkan cenderung menjadi milik pemeluk agama mayoritas. Sementara itu, para pemeluk kepercayaan tadi, jangankan mendapat pelayanan, sekadar untuk hidup secara terang-terangan saja pun susah.
 
Pangkal masalahnya ada di UUD kita, yang menyatakan bahwa "Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa." Penjelasannya, negara melindungi hak setiap warganya untuk memeluk agama dan kepercayaan sesuai keinginan mereka. Tapi dalam praktiknya, negara justru mengarahkan agar warga negara memeluk agama-agama yang resmi diakui oleh negara tadi.

Ada kesalahan mendasar dalam konsep hubungan agama dan negara dalam rumusan tadi. Beragama dianggap sama dengan bertuhan. Sebaliknya, bertuhan harus dalam format memeluk agama. Persoalannya, apa itu Tuhan?

Kalau mau teliti, tak semua agama memiliki Tuhan. Juga tidak semua agama bertuhan pada Tuhan yang tunggal. Jujur harus diakui, konsep ketuhanan di UUD kita adalah konsep ketuhanan Semitic, akal konsep ketuhanan yang dianut oleh orang-orang Islam dan Kristen, yang basis pahamnya adalah monoteisme. Agama Hindu menganut paham politeisme. Para penganut Buddha justru tidak menjadikan Tuhan sebagai fokus mereka. Intinya, urusan spiritual manusia sebenarnya sangat sulit untuk didefinisikan dengan batasan-batasan yang dirumuskan. 
 
Tapi rumusan tadi mau tak mau menuntut warga negara untuk percaya, beriman, bahkan beragama dalam format-format yang sudah ditetapkan. Seseorang tidak bisa memilih dengan benar-benar bebas apa yang ia pikirkan tentang Tuhan, serta bagaimana ia akan memujanya. Bisakah Anda bayangkan kalau seorang punya kepercayaan sebagai penyembah pohon dan pemerintah mengakui kepercayaan itu, dan menyediakan pohon untuk disembah? Tidak. Padahal kalau benar negara melindungi hak setiap orang untuk percaya, penyembah pohon punya hak yang sama dengan penganut agama lain.

Rumusan yang paling tepat sebenarnya adalah sekularisme. Dalam sekularisme, negara memahami hak setiap warga negara untuk memiliki kepercayaan, melindungi hak tersebut, tapi tidak mencampurinya. Negara menyerahkan urusan iman itu kepada mereka masing-masing. Kalau mereka membutuhkan rumah ibadah, silakan minta izin kepada negara, dengan memenuhi syarat-syarat perizinan mendirikan bangunan. Pemerintah tidak perlu menyediakan rumah ibadah. Tentu saja itu hal yang mustahil terjadi di Indonesia.

Pendek kata, negara ini akan terus mengurus banyak hal terkait iman warganya. Juga kerepotan mengendalikan kehendak mayoritas yang ingin negara diatur sesuai iman mereka.

(mmu/mmu)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar