Ada kesalahan mendasar dalam konsep hubungan agama dan negara dalam rumusan tadi. Beragama dianggap sama dengan bertuhan. Sebaliknya, bertuhan harus dalam format memeluk agama. Persoalannya, apa itu Tuhan?
Kalau mau teliti, tak semua agama memiliki Tuhan. Juga tidak semua agama bertuhan pada Tuhan yang tunggal. Jujur harus diakui, konsep ketuhanan di UUD kita adalah konsep ketuhanan Semitic, akal konsep ketuhanan yang dianut oleh orang-orang Islam dan Kristen, yang basis pahamnya adalah monoteisme. Agama Hindu menganut paham politeisme. Para penganut Buddha justru tidak menjadikan Tuhan sebagai fokus mereka. Intinya, urusan spiritual manusia sebenarnya sangat sulit untuk didefinisikan dengan batasan-batasan yang dirumuskan.
Rumusan yang paling tepat sebenarnya adalah sekularisme. Dalam sekularisme, negara memahami hak setiap warga negara untuk memiliki kepercayaan, melindungi hak tersebut, tapi tidak mencampurinya. Negara menyerahkan urusan iman itu kepada mereka masing-masing. Kalau mereka membutuhkan rumah ibadah, silakan minta izin kepada negara, dengan memenuhi syarat-syarat perizinan mendirikan bangunan. Pemerintah tidak perlu menyediakan rumah ibadah. Tentu saja itu hal yang mustahil terjadi di Indonesia.
Pendek kata, negara ini akan terus mengurus banyak hal terkait iman warganya. Juga kerepotan mengendalikan kehendak mayoritas yang ingin negara diatur sesuai iman mereka.
(mmu/mmu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar