Kamis, 26 Desember 2019

Jokowi Harus Hati-Hati Hadapi Islam Garis Keras di Indonesia

Administrasi Jokowi baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan memeriksa pegawai negeri sipil mengenai tanda-tanda ekstremisme. Institute for Policy Analysis of Conflict mengatakan bahwa upaya pemerintah untuk mengekang ujaran kebencian dapat mengobarkan ketegangan agama dan politik. Peringatan wadah pemikir itu menyusul kerusuhan bulan Mei lalu karena pemilu yang disengketakan, di mana kandidat yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam gagal menggulingkan presiden.

Oleh: Amy Chew (South China Morning Post)

Sikap pemerintah Indonesia yang lebih keras terhadap kelompok Islam garis keras yang berusaha mengubah negara sekuler menjadi negara Islam, harus menghindari memicu narasi penindasan yang akan memberi kelompok ini alasan untuk bersatu, sebuah wadah pemikir memperingatkan pada Selasa (23/7).

Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) merilis sebuah penelitian yang memeriksa bagaimana polisi telah melihat Islam radikal sebagai salah satu ancaman keamanan terbesar yang dihadapi negara ini. Kebijakan itu telah mengarah pada pengawasan yang lebih besar terhadap media sosial dan kontrol yang lebih ketat pada aksi jalanan, sebagai bagian dari upaya pihak berwenang untuk menggambarkan mereka yang berpolitik Islam sebagai satu langkah menuju ekstremis brutal.

Aksi garis keras terlihat saat kerusuhan pada bulan Mei atas perselisihan Pilpres 2019, ketika para pendukung Prabowo Subianto—yang didukung oleh kelompok-kelompok Islam—turun ke jalan, memicu kerusuhan selama dua hari di mana sembilan orang tewas. Para demonstran menuduh Presiden Joko Widodo melakukan kecurangan dalam pemilu.

IPAC mendesak kehati-hatian dalam upaya pemerintah untuk mengekang ujaran kebencian, dengan mengatakan bahwa itu dapat semakin mengobarkan ketegangan agama dan politik, dan dianggap sebagai serangan terhadap kebebasan berekspresi.

“Dia (Jokowi) dapat melakukan itu dengan memastikan bahwa terdapat kriteria yang jelas untuk mengekang ekspresi kebencian atau merendahkan di media sosial, bahwa undang-undang pencemaran nama baik tidak digunakan untuk menangkap individu karena kritik biasa terhadap pejabat publik, dan bahwa ada perbedaan yang jelas antara penghasutan dan penyampaian pendapat yang sah,” kata laporan itu.

Para pejabat juga baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan memeriksa pegawai negeri sipil mengenai tanda-tanda ekstremisme.

“Pemerintah perlu memastikan apakah mereka yang terkena dampak memiliki jalan hukum untuk menentang keputusan institusional,” tambah wadah pemikir itu.

“Islamisme—dengan pandangan mayoritas serta moralitas dan ortodoksi—masih sangat kuat di Indonesia. Mengelolanya mungkin menjadi perhatian utama bagi Presiden Jokowi pada masa jabatan keduanya.”

Profesor Zachary Abuza dari National War College di Washington—yang berspesialisasi dalam pemberontakan dan terorisme—mengatakan bahwa meskipun terjadi kerusuhan, namun banyak kelompok Islam telah terhambat untuk turun ke jalan oleh “kehadiran pasukan keamanan yang sangat terang-terangan, yang dengan jelas mengisyaratkan bahwa tindakan dan kekerasan di luar hukum tidak akan ditoleransi”.

Para pengunjuk rasa berjumlah ribuan, tetapi kerusuhan itu masih dalam skala yang lebih kecil dari kerusuhan sipil tahun 1998.

Abuza mengatakan, akan mengkhawatirkan jika pemerintah terpaksa bergantung dengan militer untuk mempertahankan demokrasi Indonesia. “Itu bukan pertanda baik bagi masa depan hubungan sipil-militer,” katanya.

IPAC mendesak Jokowi untuk menjangkau anggota-anggota kelompok Islam garis keras seperti Salafi, tetapi “tanpa menjadi kaki tangan para pemimpin ultra-konservatif mereka atau mengadopsi elemen-elemen agenda mereka”

Wadah pemikir itu mengatakan bahwa juga terdapat kebutuhan untuk mengurangi ketidaksetaraan ekonomi untuk mengurangi keluhan para penganut Islam, dan ini memerlukan dukungan dengan strategi komunikasi yang baik untuk mempublikasikan pencapaian positif apa pun.

“Presiden dapat fokus untuk memastikan bahwa dia tidak terlalu rentan terhadap tuduhan ketidaksetaraan, dengan memastikan program ekonominya tidak terkonsentrasi di Jawa dan di daerah yang didominasi NU, tetapi tersebar merata di berbagai kelompok dan wilayah Islam yang berbeda,” kata laporan itu.

NU, atau Nahdlatul Ulama, adalah organisasi Muslim moderat terbesar di Indonesia, dan mengklaim memiliki lebih dari 50 juta pengikut. Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia.

“Jokowi harus menghindari terlihat hanya mengandalkan Nahdlatul Ulama, organisasi Muslim moderat yang berpusat di Jawa yang membantunya meraih kemenangan.”

Prabowo menang di banyak provinsi di luar Jawa.

Sejumlah besar Islam garis keras tidak menyukai Jokowi, dan permusuhan itu diperkirakan akan tetap ada terlepas dari pembicaraan tentang rekonsiliasi antara kedua tokoh itu.

“Mereka (para Islam garis keras) melihatnya (Jokowi) sebagai pembawa standar untuk sekularisme, seorang komunis—sebagaimana dibuktikan dengan ketergantungannya pada China untuk proyek-proyek pembangunan—dan pendorong amoralitas melalui dukungan partainya untuk RUU perlindungan terhadap korban kekerasan seksual,” kata IPAC. “Kebijakan yang represif hanya memperkuat antipati (terhadap Jokowi).”

Sumber : https://www.matamatapolitik.com/analisis-jokowi-harus-hati-hati-hadapi-islam-garis-keras-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar