Administrasi Jokowi
baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan memeriksa pegawai negeri
sipil mengenai tanda-tanda ekstremisme. Institute for Policy Analysis of
Conflict mengatakan bahwa upaya pemerintah untuk mengekang ujaran
kebencian dapat mengobarkan ketegangan agama dan politik. Peringatan
wadah pemikir itu menyusul kerusuhan bulan Mei lalu karena pemilu yang
disengketakan, di mana kandidat yang didukung oleh kelompok-kelompok
Islam gagal menggulingkan presiden.
Oleh: Amy Chew (South China Morning Post)
Sikap pemerintah
Indonesia yang lebih keras terhadap kelompok Islam garis keras yang
berusaha mengubah negara sekuler menjadi negara Islam, harus menghindari
memicu narasi penindasan yang akan memberi kelompok ini alasan untuk
bersatu, sebuah wadah pemikir memperingatkan pada Selasa (23/7).
Institute
for Policy Analysis of Conflict (IPAC) merilis sebuah penelitian yang
memeriksa bagaimana polisi telah melihat Islam radikal sebagai salah
satu ancaman keamanan terbesar yang dihadapi negara ini. Kebijakan itu
telah mengarah pada pengawasan yang lebih besar terhadap media sosial
dan kontrol yang lebih ketat pada aksi jalanan, sebagai bagian dari
upaya pihak berwenang untuk menggambarkan mereka yang berpolitik Islam
sebagai satu langkah menuju ekstremis brutal.
Aksi garis keras terlihat saat kerusuhan pada bulan Mei atas
perselisihan Pilpres 2019, ketika para pendukung Prabowo Subianto—yang
didukung oleh kelompok-kelompok Islam—turun ke jalan, memicu kerusuhan
selama dua hari di mana sembilan orang tewas. Para demonstran menuduh
Presiden Joko Widodo melakukan kecurangan dalam pemilu.
IPAC
mendesak kehati-hatian dalam upaya pemerintah untuk mengekang ujaran
kebencian, dengan mengatakan bahwa itu dapat semakin mengobarkan
ketegangan agama dan politik, dan dianggap sebagai serangan terhadap
kebebasan berekspresi.
“Dia (Jokowi) dapat melakukan itu dengan memastikan bahwa terdapat
kriteria yang jelas untuk mengekang ekspresi kebencian atau merendahkan
di media sosial, bahwa undang-undang pencemaran nama baik tidak
digunakan untuk menangkap individu karena kritik biasa terhadap pejabat
publik, dan bahwa ada perbedaan yang jelas antara penghasutan dan
penyampaian pendapat yang sah,” kata laporan itu.
Para pejabat juga baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan memeriksa pegawai negeri sipil mengenai tanda-tanda ekstremisme.
“Pemerintah
perlu memastikan apakah mereka yang terkena dampak memiliki jalan hukum
untuk menentang keputusan institusional,” tambah wadah pemikir itu.
“Islamisme—dengan
pandangan mayoritas serta moralitas dan ortodoksi—masih sangat kuat di
Indonesia. Mengelolanya mungkin menjadi perhatian utama bagi Presiden
Jokowi pada masa jabatan keduanya.”
Profesor Zachary Abuza dari
National War College di Washington—yang berspesialisasi dalam
pemberontakan dan terorisme—mengatakan bahwa meskipun terjadi kerusuhan,
namun banyak kelompok Islam telah terhambat untuk turun ke jalan oleh
“kehadiran pasukan keamanan yang sangat terang-terangan, yang dengan
jelas mengisyaratkan bahwa tindakan dan kekerasan di luar hukum tidak
akan ditoleransi”.
Para pengunjuk rasa berjumlah ribuan, tetapi kerusuhan itu masih dalam skala yang lebih kecil dari kerusuhan sipil tahun 1998.
Abuza
mengatakan, akan mengkhawatirkan jika pemerintah terpaksa bergantung
dengan militer untuk mempertahankan demokrasi Indonesia. “Itu bukan pertanda baik bagi masa depan hubungan sipil-militer,” katanya.
IPAC mendesak Jokowi
untuk menjangkau anggota-anggota kelompok Islam garis keras seperti
Salafi, tetapi “tanpa menjadi kaki tangan para pemimpin
ultra-konservatif mereka atau mengadopsi elemen-elemen agenda mereka”
Wadah
pemikir itu mengatakan bahwa juga terdapat kebutuhan untuk mengurangi
ketidaksetaraan ekonomi untuk mengurangi keluhan para penganut Islam,
dan ini memerlukan dukungan dengan strategi komunikasi yang baik untuk
mempublikasikan pencapaian positif apa pun.
“Presiden dapat fokus
untuk memastikan bahwa dia tidak terlalu rentan terhadap tuduhan
ketidaksetaraan, dengan memastikan program ekonominya tidak
terkonsentrasi di Jawa dan di daerah yang didominasi NU, tetapi tersebar
merata di berbagai kelompok dan wilayah Islam yang berbeda,” kata
laporan itu.
NU, atau Nahdlatul Ulama, adalah organisasi Muslim
moderat terbesar di Indonesia, dan mengklaim memiliki lebih dari 50 juta
pengikut. Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia.
“Jokowi harus
menghindari terlihat hanya mengandalkan Nahdlatul Ulama, organisasi
Muslim moderat yang berpusat di Jawa yang membantunya meraih
kemenangan.”
Prabowo menang di banyak provinsi di luar Jawa.
Sejumlah besar
Islam garis keras tidak menyukai Jokowi, dan permusuhan itu diperkirakan
akan tetap ada terlepas dari pembicaraan tentang rekonsiliasi antara
kedua tokoh itu.
“Mereka (para Islam garis keras) melihatnya
(Jokowi) sebagai pembawa standar untuk sekularisme, seorang
komunis—sebagaimana dibuktikan dengan ketergantungannya pada China untuk
proyek-proyek pembangunan—dan pendorong amoralitas melalui dukungan
partainya untuk RUU perlindungan terhadap korban kekerasan seksual,”
kata IPAC. “Kebijakan yang represif hanya memperkuat antipati (terhadap Jokowi).”
Sumber : https://www.matamatapolitik.com/analisis-jokowi-harus-hati-hati-hadapi-islam-garis-keras-di-indonesia/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Narasi Sekitar 1 minggu lalu, saya bersama teman-teman saya mengadakan workshop membuat aplikasi Android menggunakan Android Studio. ...
-
Vania Halim, Jurnalis · Jum'at 06 Desember 2019 11:03 WIB Indonesia menyampaikan bahwa p...
-
Dita Angga Rusiana Jum'at, 27 Desember 2019 - 16:38 WIB JAKARTA - Pemerintah akan memasukan skema u nemployment benefit dala...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar